Saturday 14 June 2014

Would You Mind Dancing With Me?

Mentari bersinar terang menyinari balkon kamarku. Jam wekerku berbunyi sangat kencang. Dengan terpaksa aku bangun dan meraih jam wekerku dan mematikannya.  Sungguh berat bagiku untuk beranjak dari kasurku. Rasanya aku ingin tidur lagi. Hoamm.. aku menguap beberapa kali. Sambil mendengar teriakan dari bunda, aku berusaha bangun dan bergegas mandi. 
Setelah keluar dari kamar mandi, aku bergegas menghabiskan sarapan yang disediakan bunda dan merapikan segala keperluan sekolah dan bersiap untuk berangkat. Namun dalam sekejap, matahari yang bersinar cerah dan terang ditutupi oleh awan gelap dan turun hujan deras. Aku masuk ke dalam, meminta bunda untuk mengantarkanku ke sekolah. Bunda pun bersiap-siap dan memanaskan mesin mobil kemudian berangkat.
=^o^=

Di sepanjang perjalanan, aku melihat jalan yang basah akibat hujan yang melanda. Aku pun terhanyut dalam lamunanku. Banyak sekali hal yang mengganjal dalam hidupku. Teringat aku pada segala kenangan masa lampauku, terpikirkan oleh kejadian masa kini. Aku membuka ponselku, melihat media jejaring sosialku.

"Yaampun!", benakku berteriak. Terpampang jelas foto pria yang pernah mengisi hatiku. 
"Duh dia ganteng banget, dari dulu ga pernah ilang. Oh my God!!" 
Terkenang kembali masa-masa saat kami masih bermain bersama saat kami masih kanak-kanak. Rasanya sungguh indah bersenda gurau dan mengusili satu dengan yang lainnya. Masa kanak-kanak yang penuh dengan canda tawa. Terkadang dia sangat usil dan senang mengerjaiku. Tak jarang pula aku menangis karena ulahnya dan teman-temannya. Sungguh kebersamaan yang kami lewatkan itu sungguh menggelitik perutku dan tanpa ku sadari aku tersenyum mengingat semua kejadian itu.

"Vi, kamu kenapa senyum-senyum sendiri?", tanya bunda penasaran.
Sentak, aku terbangun dari lamunanku. "Gapapa kok bun. Cuma inget masa-masa SD dulu aja. Aku merindukan banyak hal.", aku menjawab jujur. Bunda hanya tersenyum kemudian diam. Aku tidak peduli, kemudian melanjutkan lamunanku. 
Aku ingat persis dulu ketika teman-teman menjodohkanku dan dia. Dulu aku sangat "anti" dengan hal-hal yang berbau menjodohkan. Bahkan aku menganggap dia hanyalah teman biasa yang senang mengusiliku. Tapi entah mengapa, setelah setahun aku tidak bertemu dengannya, bahkan tidak berkomunikasi sama sekali, aku merindukannya, sangat merindukannya. Terlebih ketika teman-temanku memberitahukan aku bahwa dia benar-benar menyimpan rasa padaku. Aku semakin merindukannya. Namun apalah daya, aku tidak dapat berbuat apapun. Kami sudah terlanjur jauh, kami sudah terlanjur terpisah. Sungguh sangat disayangkan aku baru tertarik padanya ketika kami sudah jauh terpisah. Dan bayang-bayangnya masih menghantuiku.

"Padahal sudah tujuh tahun.", aku menghela nafas panjang.
"Apanya yang sudah tujuh tahun Vi?", aku tersentak ketika mendengar bunda berkata seperti itu. Tak ku sadari aku lepas kontrol.
"Emm.. ga ada apa apa kok bun. Hehehe" 
Akhirnya aku pun sampai di depan gerbang sekolah. Aku pun berjalan masuk ke dalam. Sepi. Serasa seperti sekolah itu hanya berisikan aku dan para petugas saja. Tidak banyak murid yang sudah hadir. Aku berjalan perlahan menuju ruang kelasku. Terlintas lagi ketika aku berlarian bersama teman-temanku karena mereka mengusili aku saat aku sedang duduk di bangku SMP. Memang konyol, tetapi lucu. Tak henti-hentinya aku tersenyum melihat kekonyolan para lelaki konyol itu. Entah apa yang mereka konsumsi sehingga mereka menjadi begitu iseng. Namun keisengan itulah yang terus menerus membawa tawa dan senyumku tak pernah pudar dari wajahku. 
Aku duduk di bangku kelas, meninjau ulang semua kehidupanku sedari aku SD hingga SMA. Tak terasa ini merupakan tahun terakhirku di bangku SMA. Beberapa minggu lagi aku akan mengikuti Ujian Nasional dan mengadakan acara perpisahan. Akankah kami berpisah selamanya? Aku hanya berharap tidak.
=^o^=

Tiba-tiba terdengar suara pintu kelas terbuka. Cetrekk..
Sentak aku terkejut dan bangun dari lamunanku. Ternyata itu William. Pria di kelasku yang selalu datang pagi. Ia tersenyum padaku.
"Pagi Vi, melamun aja lu! Hahahaha", William menyapaku dengan ramah dan penuh senyuman. Ternyata dia memperhatikanku sedari aku melamun tadi.
"Kepo ah lu, gapapa kok. Pagi juga Wil!", aku tersenyum.
Pria itu duduk tepat di depanku. Setelah ia menaruh tasnya, ia pun keluar meninggalkanku sendirian di kelas kemudian berbincang dengan temannya yang lain. Aku melanjutkan lamunanku. Aku membayangkan betapa bahagianya hari-hariku yang diisi dengan canda tawa dan lelucon dari teman terdekatku. Pola pikirku dengan mereka mungkin berbeda. Bahkan sangat berbeda. Tetapi mereka tidak pernah mempermasalahkan itu. Bahkan kami saling melengkapi satu dengan yang lainnya. Kekonyolan yang kami perbuat pun benar-benar diluar dugaanku. Ya, inilah kami. Kami memang apa adanya satu dengan yang lain. Terbuka dan segala kebanyolan yang terjadi kadang kala diluar akal sehat orang lain tetapi menarik bagi kami.
=^o^=

Terbayang lagi masa-masa SMP ku yang ku habiskan untuk berlari-larian dan saling mengisengi temanku. Kami saling iseng, bahkan tak jarang kami terlihat sangat konyol dan kekanak-kanakan. Tetapi itulah yang membuat kami bahagia. Tanpa disadari hal tersebut sudah lewat bertahun-tahun lamanya. Setelah bangun dari lamunanku, kelas masih tidak begitu ramai. Aku memutuskan untuk beranjak dari tempat dudukku dan keluar dari kelas untuk sekadar menikmati pemandangan sekolah sambil menunggu teman-temanku yang lain.
"AAAA!!", seketika aku berteriak karena kaget.
"Ah ngagetin aja lu Na!", aku mengomelin Anna yang baru saja datang dan mengagetiku.
"Lagian siapa suruh lu melamun. Masih pagi juga. Kesambet setan baru tau rasa lu!", Anna menakutiku.
"Ah ga bakalan kesambet setan gue mah. Yang ada itu setan takut buat nyambet gue! Hahahaa", kami berdua pun tertawa karena kalimat yang baru saja ku lontarkan.
"Udah ah, ayo masuk kelas aja. Disini panas tau. Sekalian gue mau cerita."
"Payah ah lu gini aja lu bilang panas. Yauda ayo ke tempat gue aja ya? Udah pewe nih. Mager banget."

Anna pun menuruti keinginanku dan kami pun bercerita. Seperti biasa, perbincangan kami tidak jauh dari "pria ganteng". Hobi Anna adalah menonton film, sehingga wajar bagiku untuk mendengar seorang Anna memuji berbagai jenis pria di muka bumi ini. Seketika telepon genggamku berbunyi. Aku mengecek handphone-ku dan raut wajahku seketika berubah. "Erghh", aku menggerutu.
"Kenapa lu Vi?, tanya Anna.
"Gatau ah, bete gue."
"Loh seriusan lu kenapa? Ceritalah, masa abis dapet notif hp langsung bete sendiri?"
"Nih liat aja!", aku menyodorkan telepon genggamku.
Saat Anna melihat dan membaca pesan yang tertera di telepon genggamku, ia tertawa terbahak-bahak. Raut wajahku semakin tertekuk.
"Kok gue lagi bete malah lu ketawa sih?! Padahal gaada yang lucu!"
"Engga engga. Lucu aja, orang ngajak lu ketemuan kok malah bete. What's happening with this guy?"
"Ah lu kayak gatau gue gimana aja sih Na? Dia itu cowok yang bikin gue illfeel. Gue ga suka.", aku semakin menekuk wajahku.
"Hah?! Siapa?", Anna tersentak.
"Halah palingan si Chiko. Ya ga Vi?"
William dan teman-temannya seketika masuk dan mengagetkanku. Kalimat yang ia ucapkan barusan itu benar-benar mengagetkanku.
"Sotoy ah lu Wil. Pergi sana.", aku mengusirnya.
"Ini tempatnya William kali Vi. Yaampun justru Anna yang duduk di tempat William. Dasar cewek.", Jacob berusaha membela William.
"Ih dasar cowok bawel. Perhitungan amat sama cewek.", aku menggerutu.
=^o^=

William, Jacob, dan teman-temannya berusaha menghiburku dengan segala lelucon yang mereka buat. Aku dan Anna bahkan tidak dapat berhenti tertawa karena ulah mereka. Sungguh lucu. Kami menertawakan hal-hal yang konyol dan tidak penting. Tapi karena itu juga aku dapat melupakan kekesalanku. Sebelum bel tanda pelajaran berbunyi, aku memutuskan untuk menemui pria yang telah membuat aku illfeel itu dengan syarat ditemani oleh William, Jacob, dan Anna, dan jika ada sesuatu, salah satu dari William atau Jacob akan muncul dan membantuku.
Kurang lebih seperti itu hari-hariku di sekolah. Penuh kekonyolan, canda tawa, adu mulut, bahkan sesekali saling meledek satu dengan yang lain. Tetapi di saat kami saling membutuhkan, kami akan saling tolong menolong. Kami selalu ada satu dengan yang lainnya. Layaknya seorang sahabat, kami adalah teman dekat. Yang tampak saling meng-insult satu dengan yang lainnya, yang berbeda jika dilihat dari berbagai segi. Tapi kami satu.
Minggu-minggu terakhir kami lalui bersama seperti hari-hari sebelumnya. Belajar bersama, bermain, dan seperti biasa, saling mengejek. Terdengar konyol, tetapi jika satu hari saja tidak melihat mereka mengusili seseorang atau mengejek seseorang - meskipun itu aku korbannya, akan terlihat aneh. Kehidupan di sekolah tampak sangat hampa. Oleh karena itu, melihat hal konyol yang mereka lakukan merupakan hal yang indah bagiku, namun buruk bagi yang ter-bully. Hahaha~
=^o^=

Ujian Nasional pun sudah kami lewati dengan baik. Tiba saatnya hari pengumuman dan perpisahan. Segala persiapan sudah kami lakukan. Siswa-siswi lain sudah berdandan dengan baik sehingga mereka tampak tampan dan anggun saat malam perpisahan itu. William dan Jacob menjemputku dan Anna agar kami dapat sampai di tempat perpisahaan secara bersama. Mereka sungguh tampak berbeda. Hari-hari biasa yang tampak begitu cuek dan tidak begitu memperhatikan tata cara berpakaian, atau yang dapat ku kategorikan sebagai pria yang tidak begitu mempermasalahkan fashion mendadak berubah menjadi begitu berbeda. Aku bahkan melongo melihat perbedaan itu.
"Cie yang hari ini cantik dan feminim banget!", Anna menggodaku dan akupun terbangundari lamunanku.
"Apaan sih Na? Biasa aja ah. Hahahaha lu juga cantik banget.", aku tersipu malu.
"Ih ga percaya amat ini anak. Tanya aja sama William dan Jacob. Pasti mereka setuju. Ya ga?"
"Yeaapp!!", William dan Jacob menjawab secara bersamaan dan mengangguk.
Reflek aku memukul pundak mereka berdua dan menganggap mereka hanyalah sedang mengusiliku.
"Eh seriusan tau, ga percayaan amat ini cewek.", Jacob memujiku sekali lagi.
"Eaaa~ tampaknya ada yang sedang terpesona dengan kecantikannya lu Vi.", Anna dan William menggodaku sambil tertawa licik.
William meraih tangan Anna dan menggandengnya hingga masuk ke ruangan. Aku dan Jacob berjalan masing-masing. Mungkin hanya kami berdua yang tidak memiliki pasangan prom malam itu. Perpisahan itu berjalan dengan sangat mewah dan glamour. Sungguh mempesona. Mulai dari dekorasinya saja sudah sangat menakjubkanku. Saat tiba saatnya "dancing session", William berdansa bersama Anna. Aku duduk di meja makan tersenyum melihat kemesraan mereka berdua. Mereka berdua memang orang yang paling suka bercanda dan iseng, terlebih jika mereka digossipkan bahwa mereka adalah sepasang kekasih. Mereka tak menghiraukan perkataan orang lain dan tetap tertawa bersama.
"Andai kehidupanku semudah mereka. Aku pasti akan sangat bahagia.", pikirku saat melihat mereka.
"Would you mind to dance with me?", seseorang mengulurkan tangannya dan mengejutkanku. Jacob. Aku kaget melihat apa yang ia lakukan. Jacob tidak banyak bicara. Dia sungguh berbeda dengan William yang jauh lebih bawel dan cerewet dibandingkan dirinya. Aku tersenyum. Dia menggenggam tanganku dan kami pun berdansa bersama. Awalnya kami agak canggung. Tapi moment itu sungguh menggelitik. William dan Anna yang melihat kejadian itu langsung menghampiri kami dan lagi-lagi meledek.
"Won't you promise me, that you'll never forget.  We'll keep dancing wherever we go next.", Jacob seketika mengucapkan kalimat itu. Aku hanya tersenyum. Mulutku terbungkam tak dapat berkata lagi. 
"Nothing can make us apart. Even if it is a thousand miles away. Cause my heart will be with you wherever you go.", lanjut Jacob. 
"Apaan sih Cob? Lebay ah lu. Sok-sok-an gombal. Hahahaa gaya lu selangit.", aku menyela.
"Jacob mana pernah main-main sama omongannya dia ke cewek Vi.", William berusaha memperingatkanku.

"It's like catching lightning the chances of finding someone like you. It's one in a million, the chances of feeling the way we do. And with every step together, we just keep on getting better. So can I have this dance?", Jacob tersenyum.
"Keep your eyes locked on mine. Terharu gue sama lu Cob. Bisa juga lu gombal. Kesambet apaan lu?", aku berusaha mencairkan suasana ini. 
"Nothing. You'll just so beautiful tonight. And my eyes can't go away from you."
"Tuh kan mulai lagi gombalnya. Males ah gue sama lu Cob.", aku cemberut.
"Nope, I'm serious. Don't let any frowns closed your beauty. Keep smiling dear."
Aku tertegun. Benar-benar tak bisa berkata-kata lagi. Meskipun Anna dan William tertawa terbahak-bahak dengan kejadian itu, dan bahkan kami beradu romantis di pannggung dansa, aku tetap tidak bisa banyak berkata. Namun tatapan Jacob. Aku sungguh tidak dapat menghapus ingatanku mengenai tatapan Jacob malam itu. Penuh makna. Setelah kami selesai berdansa dan bersiap untuk pulang, kami pun banyak berfoto bersama. Satu foto yang paling berkesan adalah saat aku dan Jacob sedang bergandengan tangan layaknya seorang kekasih. Sungguh lucu. Aku tidak tahu mengapa aku tidak dapat melupakan kejadian itu. Saat kami akan berpisah, aku ingat betul kalimat yang dilontarkan oleh Jacob untukku. 
"Kita mungkin akan berpisah. Kita mungkin tidak akan bertemu setiap hari lagi. Kita mungkin tidak akan selalu berada di tempat yang sama seperti yang dulu kita lakukan. Tapi percayalah, kamu selalu ada di hatiku. Beritahu aku jikalau kamu ada masalah. Agar aku dapat mengusap air mata kesedihanmu menjadi sebuah senyum dan tawa yang indah yang pernah ku lihat di wajahmu. Agar aku dapat menjadi sandaran ketika kamu sedang lemah. Jangan pernah lupakan aku."
Air mataku jatuh begitu ia selesai mengucapkan kalimat itu. Aku menangis. Tanpa berpikir panjang, aku memeluknya. "Aku menyayangimu Jacob. Jangan pernah lupakan aku dan persahabatan kita.", ucapku sambil menangis. Jacob mengusap air mataku, mengusap kepalaku agar aku berhenti menangis. Dia mungkin merupakan orang yang paling sering aku usili di sekolah saat aku duduk di bangku SMA dahulu, tapi dia jugalah orang yang paling sering membantuku dan paling sabar menghadapiku. "Percayalah kita akan bertemu kembali, dan kamu akan menjadi orang yang takkan pernah aku lupakan. Semua momen berharga yang kamu ciptakan sejak kita pertama bertemu. Terutama malam ini.", aku mengakhiri pembicaraan. "Ya.", Jacob tersenyum kemudian izin untuk pulang. 

"Oh no mountains too high enough, oceans too wide
'Cause together or not, our dance won't stop
Let it rain, let it pour
What we have is worth fighting for
You know I believe, that we were meant to be" - [Can I have this dance? - HSM]

No comments:

Post a Comment