Saturday 19 October 2013

I'm Idiot, I'm Stupid, but This Is Me!


Aku terlahir di keluarga sederhana yang tergolong keluarga biasa, tidak kaya tetapi juga tidak miskin. Orang tuaku selalu berusaha mencukupkan segala kebutuhanku. Aku merupakan anak pertama dari tiga bersaudara sebagai putri sulung. Dilahirkan secara normal oleh seorang ibu muda pada tanggal 11 Agustus 1997 di sebuah bidan di Riau. Saat ibuku sedang mengandung diriku, ibuku mengalami banyak kesulitan. Ibuku mendadak lumpuh dan tak dapat berjalan. Ia terbaring di tempat tidur. Bahkan untuk ke toilet yang jaraknya dekat pun tak sanggup. Ayahku, yang untungnya seorang wiraswasta, terpaksa harus memapah ibuku dan aku, yang saat itu masih dalam kandungan, untuk ke toilet dan mengecek kandungan ibuku.

Seorang bayi mungil dengan berat kurang lebih 3,2 kilogram pun akhirnya lahir hari itu. Perjuangan yang cukup panjang dilalui oleh ibuku demi aku. Entah seberapa sakit yang ibuku rasakan saat itu, aku pun tak dapat mengetahuinya dengan jelas. Ayahku menitikkan air matanya karena tak sanggup melihat sakit yang diderita oleh ibuku demi melahirkan aku. Hingga saat aku lahir ke dunia ini, ayahku akhirnya benar-benar menitikkan air mata bahagianya atas kelahiran putri pertamanya, Aku.

Perjuangan ibuku tak selesai begitu saja. Masih banyak perjuangan lain yang ibuku rasakan. Hampir setiap malam aku menangis. Ibu berusaha menidurkanku agar aku berhenti menangis. Ibu memberikanku susu asi, aku tak mau. Sampai akhirnya ayah dan ibu harus membawaku keliling kota terlebih dahulu agar aku bisa tertidur lelap. Kebiasaan-kebiasaanku membuat ayah dan ibu kerap kali kesusahan. Tetapi ayah dan ibu selalu berusaha menurutinya agar aku tidak lagi menangis.

Aku belajar menengkurapkan badanku pada umurku yang keempat bulan. Kemudian belajar merangkak. Di umurku yang satu tahun, aku belajar duduk dan berbicara. Saat umurku sudah mencapai satu setengah tahun, aku pun sudah mahir berjalan dan sesekali berlari.

Ayahku yang saat itu adalah pengusaha labi-labi membiarkanku bermain dengan salah seekor dari labi-labinya. Karena pada saat itu aku belum memiliki adik yang bisa diajak bermain, aku bermain dengan segala jenis binatang yang ada.

Masa kecilku dipenuhi oleh banyak pengalaman-pengalaman berharga. Karena ayahku begitu mengasihiku, ayahku membelikanku seekor anjing dalmantian yang diberi nama Hero untuk menemaniku bermain sembari menunggu kelahiran adikku yang masih di dalam kandungan ibuku.

Aku bermain bersama labi-labi, kura-kura yang ditemukan pekerja ayahku di belakang rumahku, kemudian ular yang dibeli ayahku, dan anjing kesayanganku. Di umurku yang ketiga, aku mulai belajar menjadi “nakal”. Saat aku bermain bersama ular dan ayahku, salah satu pekerja ayahku yang biasa ku panggil Uwak Trubus sedang mandi. Ayahku dan aku merupakan orang yang cukup iseng sehingga aku memasukkan ular yang ku pelihara ke dalam kamar mandi itu, dan uwak pun berteriak dan keluar dari kamar mandi dengan keadaan setengah telanjang dan hanya ditutupi dengan handuk. Itu merupakan pengalaman unik dan lucu bagiku, namun bagi uwak pasti merupakan kejadian yang memalukan. Namun tetap saja, kejadian itu tetap diingat sampai uwak menghembuskan nafasnya tahun 2005 lalu.

Belum lagi dengan kebodohan-kebodohan yang ku perbuat saat aku belajar bahasa. Keluargaku merupakan keluarga dengan keturunan Chinese, sehingga aku juga harus menguasai bahasa keluargaku, yaitu Bahasa Hokkien. Sayangnya aku tinggal jauh dari orang-orang Chinese lainnya, oleh karena itu aku sulit untuk belajar. Padahal ibu dan ayah selalu mengajariku setiap harinya. Tetapi tetap saja aku tak memiliki keberanian untuk berbicara dalam Bahasa Hokkien. Aku sebenarnya mengerti tapi tak pandai berbicara. Sampai suatu hari, ibuku sengaja tak memberikanku makan siang padahal aku sudah merengek karena kelaparan. Ibu berbicara dalam Bahasa Hokkien mengatakan bahwa jika aku tak meminta makan dalam Bahasa Hokkien, Ibu tak akan memberikanku makan siang. Aku tetap merengek dan tidak mau berbicara dalam Bahasa Hokkien. Ayahku sedih melihat aku kelaparan dan membujuk ibuku. Tetapi tetap saja ibuku bersih keras untuk tidak memberikan aku makan. Dan saat itulah menjadi pertama kalinya aku berbicara dalam Bahasa Hokkien.

Hingga pada saat aku beranjak semakin dewasa, akhirnya aku pun duduk di bangku TK. Aku memulai hidupku sebagai seorang pelajar. Kewajibanku pun bertambah seiring dengan berjalannya waktu.

Setelah empat tahun aku bertempat tinggal di Riau, akhirnya ayah dan ibu pun memutuskan untuk kembali ke kota asalku, kota Medan yang indah. Aku kembali dan masuk sekolah. Sutomo. Satu-satunya sekolah yang ku masuki semenjak aku TK hingga dengan SD. Ayah dan ibu memutuskan untuk menyekolahkan aku disana. Begitu juga dengan kedua adikku nantinya.

Aku bukanlah seorang murid yang cerdas dan pintar, apalagi rajin. Saat masih duduk di bangku TK, aku kerap kali datang terlambat ke sekolah. Dalam seminggu sekolah, aku datang tepat waktu hanya sekitar dua sampai tiga hari saja. Meskipun begitu, aku tetap dapat mengikuti pelajaran-pelajaran sekolah dengan cukup baik. Ibu dan ayah membekali diriku dengan kursus-kursus seperti bimbel dan kursus Bahasa Inggris. Hal tersebut membekali diriku untuk pelajaran-pelajaran di sekolah. Namun tetap saja, tidak dapat dipungkiri, aku lemah dalam pelajaran seni dan olahraga. Nilaiku untuk pelajaran itu tidak begitu memuaskan. Namun untungnya tuntas. Sehingga peringkat kelas bukanlah menjadi pokok dari sekolahku.

Seolah tak mau kalah dan bangkit dari TK, aku belajar dengan tekun. Aku diberikan kursus komputer dan sempoa sebagai pelengkap kursus bimbel dan Bahasa Inggris oleh orangtuaku. Awalnya aku hanya menjalaninya seperti biasa. Namun tak disangka, aku akhirnya mencapai peringkat pertama di kelas semester itu. Sungguh sesuatu yang diluar prediksiku dan keluarga. Ibu, orang yang paling kaget dengan hasil yang ku peroleh, langsung menanyakan kepada teman-temanku yang ada pada saat itu. Aku pun dengan bangga pulang ke rumah dan memberitahukan ayahku.

Pencapaianku tak berhenti pada titik itu saja. Pada semester selanjutnya, aku pun kembali meraih peringkat pertama di kelas. Kemudian saat aku naik kelas dua, aku pun terus berjuang untuk mempertahankan pencapaianku. Akhirnya pencapaianku dapat ku perjuangkan hingga kelas tiga semester pertama. Entah apa yang terjadi, di semester kedua, peringkatku turun drastis. Aku mendapatkan peringkat keempat. Sungguh diluar dugaanku. Aku merasa gagal dan jatuh. Aku tak tahu dimana salahku. Tetapi aku bangkit, aku berusaha kembali. Di kelas empat, akhirnya aku mendapatkan kembali gelarku, peringkat pertamaku.

Peringkat pertama di kelas empat semester satu, merupakan peringkat terakhirku di sekolah itu. Aku akhirnya pindah sekolah kembali. Awalnya guru-guru dari sekolah lamaku tidak mengizinkanku untuk pindah sekolah, karena menurut mereka aku merupakan salah satu murid yang berprestasi di sekolah itu dan sayang sekali jika harus berpindah ke sekolah di daerah. Namun setelah berbincangan yang cukup panjang antara orangtuaku dan guru-guruku, akhirnya mereka pun mengikhlaskannya dan memberikanku dan adik-adikku surat pindah.

Berpindah dari Medan kembali menuju Riau, aku pun mulai belajar untuk beradaptasi dengan lingkungannya dan teman-teman. Hal yang membuatku bingung saat sampai disana dan memulai hari pertama sekolahku dan adik-adikku adalah proses belajar mengajar yang cukup berbeda dan tingkat kesulitan dalam materi yang diajarkan. Tidak bisa dipungkiri, memang perbedaan pelajaran di daerah dengan di kota sungguh berbeda. Bahkan cara mengajarnya juga. Di daerah, para pengajar cenderung menggunakan cara-cara kekerasan, sedangkan di kota menggunakan cara halus.

Bersekolah di Riau dengan kondisi sekolah yang benar-benar berbeda dengan teman yang sangat asing menurutku, membuat aku tak pernah kerasan berada disana. Aku merasa ada yang hilang. Ada yang berbeda. Ya, banyak sekali perbedaannya. Perbedaan bahasa, cara berpikir, dan bahkan gaya hidup. Hal itu jugalah yang memancing terlihatnya perbedaan yang sangat mencolok antara aku dan teman-temanku, adikku dan teman-temannya. Oleh karena itu, tak jarang kami mengalami pembully¬an ringan di sekolah itu yang memang mayoritasnya penduduk asli daerah tersebut.

Awalnya kami membiarkan hal itu terjadi, karena masih dapat kami atasi. Namun semakin lama, pembullyan itu semakin tidak wajar dan tidak dapat saya terima. Adik terkecilku, pernah hamper dilukai oleh temannya. Masalahnya sepele, adikku sangat menyukai pelajaran sempoa, kemudian ia selalu mendapat nilai yang cukup tinggi dalam pelajaran itu dan salah seorang temannya tidak menyukai hal tersebut. Kemudian terjadilah pembullyan berupa anak tersebut berusaha menusuk adikku dengan beberapa tusuk sate. Untunglah saat itu aku sedang mengunjungi adikku untuk memberikannya bekal makan siang, jika tidak, aku sudah tidak tahu bagaimana nasib adikku.

Pembullyan tidak hanya terjadi pada adik terkecilku itu, adik pertamaku juga mengalami pembullyan, tetapi tidak dengan kekasaran. Adikku merupakan anak laki-laki satu-satunya di keluargaku, Ibuku sangat menyayanginya dan selalu membelikannya alat-alat tulis dan perlengkapan-perlengkapan lain yang bagus dan bermerek. Tetapi sayang, tiap kali ibuku membelikan barang-barang bagus untuknya keesokan harinya barang itu sudah hilang. Aku awalnya menduga bahwa adikku merupakan orang yang sangat ceroboh. Tetapi setelah dicari tahu, aku dan adikku menyadari bahwa barang-barang yang kami bawa dari rumah, yang dibelikan oleh orangtua kami sangat berbeda dengan yang mereka miliki, sehingga mereka juga ingin memiliki apa yang kami memiliki dan kemudian mencurinya. Sejak saat itulah, adikku tak pernah membawa banyak barang ke sekolah karena pada akhirnya akan dicuri oleh temannya.

Lalu apa yang terjadi dengan aku? Ya, aku mengalami pembullyan yang terparah menurutku. Karena sejak pertama kali aku masuk ke sekolah itu, aku merasa guru yang mengajari kami memperlakukanku secara tidak adil. Belum lima menit aku memulai pelajaran di sekolah itu, aku sudah dijewer oleh guru olahragaku karena melakukan kesalahan. Sesungguhnya, itu seharusnya bukan merupakan kesalahanku. Di sekolah lamaku, aku tidak pernah diajari baris berbaris sehingga aku tidak mendapatkan dasar apapun dalam pelajaran itu. Namun aku sudah memberitahukan guru olahragaku dan ia berkata bahwa ia akan mengajariku dan aku cukup mengikuti perintahnya. Dan yang memnuatku jengkel adalah saat pelajaran dimulai, dia berkata “Anak-anak ikuti saya jika tidak mengerti” dan kemudian memberi aba-aba “Balik kanan gerak”. Aku pun sentak mengikuti aba-aba yang ia berikan, dan ternyata ia memberikan contoh yang salah, ia memberikan contoh untuk aba-aba “balik kiri” yang sebenarnya tidak ada di dalam aba-aba baris berbaris, kemudian ia menghampiri kami yang melakukan kesalahan satu persatu dan kemudian menjewer kami, ia pun marah dan membentak kami sambil berteriak “siapa yang menyuruh kalian mengikuti contoh yang salah?!”.

Perjalananku disekolah itu tidak selesai begitu saja. Aku yang dahulu suka menguncir rambutku menjadi dua dan dikepang bagaikan gadis jepang itu seperti mengundang kegemasan terhadap teman-temanku. Mereka sering menarik rambutku dengan alasan gemas dengan rambutku, tetapi menariknya hingga aku merasa sangat kesakitan. Awalnya aku hanya diam saja tanpa banyak mengadu kepada guru dan orangtuaku, tetapi lama kelamaan teman-temanku menjadi sangat menjengkelkan, dan akhirnya aku membentak mereka. Keesokkan harinya, orangtuaku pun datang ke sekolah untuk melaporankan kejadian ini kepada guruku agar guruku dapat memperingati temanku yang nakal itu.

Banyak hal yang terjadi di sekolah itu. Mulai dari aku dielu-elukan oleh guru dan teman-temanku karena aku dianggap anak jenius sampai dengan aku mengajari guruku sendiri. Padahal sesungguhnya pelajaran yang aku dapatkan di sekolah itu sudah pernah aku dapatkan di tingkat sebelumnya di sekolah lamaku.

Tiga bulan lamanya aku bersekolah disana sebelum akhirnya aku harus pindah sekolah lagi, yaitu ke Jakarta. Saat itu perekonomian keluargaku sedang tidak stabil. Sehingga ayahku selalu mengupayakan pekerjaan yang lebih baik untuk mencukupi kebutuhan keluargaku.

Sesampainya kami di Jakarta, kami pun mencari sekolah yang akan kami masuki untuk tiga bulan ke depan sebelum ujian kenaikan kelas tiba. Akhirnya kami pun diterima di sebuah sekolah. Tiga bulan lamanya, kami hanya melakukan ujian susulan, mengerjakan tugas, dan ulangan agar rapot kami dapat mendapatkan nilai yang bagus untuk semester itu. Tak disangka, akhirnya saya masih dalam peringkat sepuluh besar dengan keadaan dan kondisi belajar yang kurang kondusif.

Akhirnya aku pun belajar dengan sungguh-sungguh dan giat di kelas 5 SD. Tak disangka, adaptasi yang ku lakukan cukup cepat dan aku mendapatkan peringkat kedua dan beasiswa di kelas 5 tersebut untuk kedua semester itu. Kondisi yang tak jauh berbeda pun terjadi di kelas 6, sehingga aku dapat membantu orangtuaku meringankan beban untuk kebutuhan sekolahku.

Setelah aku duduk di bangku SMP, aku pun tetap mendapatkan peringkat tiga besar di sekolahku. Tak jarang aku mendapatkan peringkat pertama dan beasiswa, dan hal itu cukup menyemangatiku untuk terus berjuang di jenjang selanjutnya.

Tetapi benar kata orang-orang, jika kita berhasil dan sukses, pasti ada saja yang tidak menyukainya dan selalu berusaha untuk menjatuhkan kita. Hal tersebut juga terjadi pada saya untuk beberapa kali saat saya masih berada dalam posisi jaya saya, yaitu dengan nilai yang cukup memuaskan dan memperoleh peringkat pertama. Sering kali teman saya berbuat curang dan semacamnya untuk menjatuhkan saya, tak jarang saya dikalahkan oleh kecurangan-kecurangan yang mereka perbuat sehingga saya kesal, namun ibu saya selalu berkata bahwa kita harus menunjukkan kebolehan dan kemampuan kita dengan cara yang baik, dengan jujur dan apa adanya. Karena untung-ruginya kita yang menanggung.

Kini saya pun duduk di bangku SMA, saya merasa cita-cita dan tujuan saya semakin dekat di depan mata. Saya berharap dengan segala kelebihan maupun kekurangan yang saya miliki saya dapat mencapai cita-cita saya ke depannya dengan baik dan sesuai dengan rencana yang telah disediakan oleh Tuhan untuk saya. Karena seindah-indahnya rencana manusia, tetaplah rencana Tuhan lebih indah dibandingkan dengan rencana kita. 

Saya berharap saya dapat bersekolah dengan baik dan lancar sehingga saya dapat memperoleh peringkat yang baik dan mendapat beasiswa. Saya ingin bersekolah di fakultas bioteknologi farmasi atau pangan agar saya dapat menciptakan dan menemukan obat-obatan terbaru dan makanan yang bergizi bagi seluruh makhluk hidup di dunia ini terutama manusia. Oleh karena itu saya ingin bersekolah sampai saya lulus S3 dan mendapatkan gelar professor, jika Tuhan berkenan.

No comments:

Post a Comment